Sudahkah kita menjalani hidup ini dengan ikhlas, menerima realiti
kehidupan dengan secebis senyuman yang terukir di bibir. Di sebuah desa di
daerah Kendal, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Karangayu hiduplah seorang
ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai
penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari
bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang. “Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya. ..” demikian dia selalu memaknai hidupnya.
Suatu pagi, setelah shalat subuh, dia
pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke
dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang.
Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum
jadi. Masih berupa kacang kedelai, sebagian berderai, belum disatukan
ikatan-ikatan putih kapas dari peragian.
Sumber Foto : http://fotokita.net/foto/137690137210_0004406/penjual-tempe |
Tempe itu masih harus menunggu
satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti
dia tidak akan mendapatkan uang, untuk makan, dan modal membeli kacang
kedelai, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.
Di tengah putus asa, terbersit
harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan
ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia
baca doa. “Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti
menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah
kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku…” Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya.
Dengan tenang, dia tekan dan
mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun
itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan
pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan… dia kecewa. Tempe itu masih
belum juga berubah. Kacang kedelainya belum semua menyatu oleh
kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia
yakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya. Dan tempe itu pasti akan
jadi.
Dia yakin, Allah tidak akan
menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia. Sambil
meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa
lagi. “Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu.
Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan
tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku…”
Sebelum mengunci pintu dan
berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah
jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan…
belum jadi. Kacang kedelai itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada
perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai tersebut. “Keajaiban Tuhan akan datang… pasti,” yakinnya.
Dia pun berjalan ke pasar. Di
sepanjang perjalanan itu, dia yakin, “tangan” Tuhan tengah bekerja untuk
mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia
memanjatkan doa… berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan
doanya.
Sampai di pasar, di tempat dia
biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. “Pasti sekarang
telah jadi tempe!” batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus
tempe itu, pelan-pelan. Dan… dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada
perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur
tadi.
Kecewa, airmata menitiki keriput
pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi?
Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa
salahku? Demikian batinnya berkecamuk.
Dengan lemas, dia gelar
tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan.
Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya
itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar… merasa sendirian. Tuhan telah
meninggalkan aku, batinnya.
Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan… esok dia pun tak akan dapat makan.
Dilihatnya kesibukan pasar,
orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di
sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang
pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya kian memuncak.
Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya
tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat…
Di tengah kesedihan itu, sebuah
tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan
cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya. “Maaf Ibu, apa ibu
punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di
pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya?”
Penjual tempe itu bengong.
terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu
cantik tadi, dia cepat menadahkan kedua tangannya. “Ya Allah, saat
ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang
tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe…
jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe…” Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi.
“Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?” tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat?
Pembaca, Di balik daun yang
hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi!
“Alhamdulillah!” pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu
kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu
cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?”
“Oohh, bukan begitu, Bu. Anak
saya, si Shalauddin, yang kuliah S2 di Australia ingin sekali makan
tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya
pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai
sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?”
Apa yang boleh kita simpulkan daripada kisah penjual tempe di atas?
Pertama : Kita
sering memaksakan kehendak kita kepada
Tuhan pada waktu kita berdoa padahal sebenarnya Tuhan lebih mengetahui apa yang kita perlukan.
Kedua : Tuhan
menolong kita dengan cara-Nya yang sama sekali di
luar perkiraan kita sebelumnya.
Ketiga : Tiada yang
mustahil bagi Tuhan
Keempat : Percayalah bahwa
Tuhan akan menjawab doa kita sesuai dengan rancangan-Nya.
No comments:
Post a Comment